Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak dari masyarakat yang lebih senang membeli obat di pasar yang belum tentu terdaftar dan menjual obat aman sesuai dengan syarat Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Semuanya dengan alasan harga.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) 1010 menyatakan obat palsu merupakan obat yang diproduksi oleh produsen yang tidak berhak berdasarkan Undang-undang atau produksi obat dengan penandaannya meniru obat lain yang telah berizin.
Beredarnya obat palsu menurut Parulian sebenarya berawal dari mahalnya dana yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis obat baru, sehingga merembet kepada harga obat tersebut di pasaran. Setidaknya, menurut Parulian, untuk menghasilkan jenis obat baru, produsen obat perlu 10 -15 tahun dengan dana riset mencapai $ 2,6 miliar berdasarkan penelitian Tufts University, Boston, USA.
"Indonesia masih belum sanggup memproduksi obat keluaran hasil riset sendiri, karena membutuhkan dana yang sangat mahal," kata Parulian.
Kondisi seperti ini memicu pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi obat sejenis namun dengan kandungan yang biasanya hampa, ataupun di bawah ambang batas yang sudah ditetapkan. Tentu dengan jenis obat bodong ini menjadi murah dibanding obat asli dan menarik perhatian pasien yang kurang cerdas.
Padahal dampak yang ditimbulkan dari penggunaan obat palsu, terutama dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan masalah kesehatan baru yang lebih mahal ketimbang harga obat bodong tersebut.
Menurut BPOM, mengonsumsi obat dengan kadar yang asal-asalan terutama antibiotik, dapat menyebabkan kekebalan bagi penyebab penyakit yang ada di dalam tubuh. Kekebalan ini dapat berbahaya karena artinya akan membutuhkan dosis yang lebih besar ataupun jenis obat yang lain agar kuman dan mikroba penyebab penyakit dapat dimatikan.
"Pengurangan zat tersebut dapat berbahaya bagi penderita diabetes, yang membutuhkan kontrol obat dalam kesehariannya, bisa-bisa menimbulkan akibat yang fatal," kata Arus Setiono, Dirut Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA BPOM.
Obat palsu secara kasat mata memang sangat sulit dibedakan dengan obat yang asli. Obat palsu memilii bentuk, warna, dan kemasan yang mirip dengan bentuk aslinya. Hanya pengujian laboratorium yang dapat membedakan di antara keduanya.
Namun, bukan berarti masyarakat tidak dapat menghindar dari obat palsu. Arus sangat menekankan pentingnya membeli obat dalam toko obat terdaftar atau apotek resmi, kemudian secara teliti memperhatikan obat yang dibeli dari segi penampilan hingga warna. Masyarakat juga perlu curiga jika obat memiliki harga yang jauh lebih murah ketimbang harga pasaran pada umumnya.
"Penting juga untuk melapor ke BPOM jika menemukan atau menjadi korban obat palsu," kata Arus. "Jika kemudian ada sisa obat asli, jangan dibuang dalam bentuk utuh, agar mencegah didaur ulang dan digunakan secara tidak bertanggung jawab. Ini membantu sekali mencegah beredarnya obat palsu." ujarnya.
www.cnnindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar